KESAHPUBLIK.COM – Kasus kekerasan dan dugaan perbudakan terhadap pekerja sirkus di Oriental Circus Indonesia (OCI) yang selama ini tampil sebagai bagian dari pertunjukan di Taman Safari Indonesia (TSI) telah mencuat ke publik pada April 2025. Pengakuan para korban mayoritas perempuan menyingkap praktik kekerasan yang telah berlangsung sistematis dan dalam waktu yang sangat panjang. Namun lebih mengejutkan, pola kekerasan ini bukan hal baru. Sejak tahun 97, sudah terdapat laporan mengenai eksploitasi terhadap pekerja sirkus, namun laporan tersebut tenggelam tanpa tindak lanjut. Negara gagal hadir, bahkan ketika Komnas HAM pernah merekomendasikan penyelidikan atas dugaan perbudakan dan eksploitasi anak-anak serta anak-anak yang dipisahkan secara paksa dari orang tua mereka.
korban mengaku tidak pernah menerima gaji sama sekali selama bertahun-tahun bekerja di sirkus. Mereka hanya diberi makan secukupnya dan tempat tidur seadanya. Ini bukan hanya pelanggaran ketenagakerjaan, tetapi indikasi kuat praktik perbudakan modern.
perbudakan modern merujuk pada kondisi eksploitasi ekstrem di mana seseorang dipaksa bekerja tanpa upah yang layak, kehilangan kebebasan, berada di bawah ancaman kekerasan, serta tidak memiliki akses terhadap perlindungan hukum. Menurut Landasan Hukum Internasional, bentuk-bentuk perbudakan ini mencakup kerja paksa, perdagangan manusia, eksploitasi anak, dan kontrol penuh atas kehidupan seseorang oleh pihak lain meskipun tidak berbentuk jual-beli manusia secara formal seperti di masa lalu, namun Dalam kasus OCI, relasi kerja yang diwarnai kekerasan, kontrol total terhadap tubuh dan mobilitas pekerja, serta ketiadaan imbalan ekonomi, sangat jelas memenuhi elemen-elemen tersebut.
mayoritas pekerja Sirkus adalah Perempuan, Korban diantaranya menyampaikan bentuk-bentuk penyiksaan yang dialami. Ada yang dipasung selama dua minggu, disetrum di bagian vital, diikat dengan rantai gajah, dipaksa menelan kotoran binatang, hingga dipukul dengan rotan sebagai hukuman atas kesalahan kecil. Pendiri OCI bahkan membenarkan praktik pemukulan tersebut, menyebutnya sebagai hal “biasa” dalam pelatihan. Ini menunjukkan bahwa kekerasan telah menjadi norma dalam sistem kerja mereka, dilembagakan secara sadar dan ditoleransi oleh manajemen, bahkan oleh masyarakat yang terus mengonsumsi hiburan ini tanpa mempertanyakan praktik di balik layar.
Michel Foucault menjelaskan bagaimana kekuasaan bekerja tidak hanya secara koersif, tetapi juga melalui pengawasan dan normalisasi atas tubuh. Dalam konteks ini, tubuh pekerja terutama perempuan dan anak-anak bukan hanya dikontrol, tetapi diproduksi ulang menjadi objek kepatuhan dalam sistem kerja eksploitatif.
Dari perspektif feminisme Marxis, perempuan pekerja sirkus mengalami eksploitasi ganda sebagai tenaga kerja informal yang tak dilindungi hukum, dan sebagai perempuan dalam struktur patriarkal yang menempatkan mereka dalam posisi subordinat. Tubuh mereka bukan hanya dieksploitasi secara ekonomi, tetapi juga secara simbolik sebagai subjek yang tunduk terhadap kekuasaan institusi dan budaya kekerasan.
Yang paling mencolok adalah absennya negara. Tidak ada sistem pengawasan terhadap operasional OCI. Tidak ada audit terhadap rekam jejak kekerasan di lembaga itu. Tidak ada mekanisme pengaduan yang melindungi korban. Bahkan menurut pernyataan penadamping korban Komnas HAM pernah mengeluarkan rekomendasi atas dugaan eksploitasi anak dan pemisahan paksa dari keluarga, negara tetap tak bergeming. hingga kasus hilang tanpa tindaklanjut, Negara lebih memilih melindungi citra institusi besar seperti TSI, yang selama ini dibungkus narasi edukatif dan konservasi satwa, ketimbang memperjuangkan hak dasar warga negaranya.
Di sinilah kita melihat relasi kuasa yang membungkam kekuasaan negara, institusi hiburan, dan norma sosial membentuk sistem yang melanggengkan kekerasan. Impunitas struktural terjadi ketika pelaku kekerasan tidak pernah dihukum, dan korban tidak pernah mendapat pemulihan.
Untuk itu, negara harus Melakukan audit menyeluruh dan transparan terhadap operasional OCI dan TSI, Menindak tegas semua pihak yang terlibat atau membiarkan praktik kekerasan ini terjadi, Menjamin pemulihan komprehensif bagi korban, termasuk hak atas keadilan, rehabilitasi, dan kompensasi, Membuat regulasi perlindungan terhadap pekerja hiburan informal dan pekerja perempuan, Menyelidiki ulang kasus-kasus yang pernah dilaporkan ke Komnas HAM, khususnya soal eksploitasi anak.
Kita tidak boleh membiarkan kekerasan ini kembali tenggelam seperti di tahun 97 tersebut. Ketika negara diam maka negara sedang berdiri di pihak penindas. Ketika perempuan dan anak-anak dibiarkan mengalami perbudakan dalam institusi yang disanjung publik, maka negara telah gagal menjalankan mandat konstitusionalnya.
Dan ketika kita semua mungkin pernah menonton pertunjukan sirkus dengan bahagia terhibur, dan tertawa, bertepuk tangan, hingga mengabadikan momen tanpa bertanya siapa mereka, apa yang terjadi di dalam, serta bagaimana pola pelatihannya, maka kita pun ikut gagal sebagai masyarakat. Kita menikmati hiburan yang dibangun di atas penderitaan yang tersembunyi.
Penulis : Ellisa Wulan Oktavia